Rabu, 30 Maret 2011

cerpen umum

TEKAD KU
Desy Ari Sandi
Disebuah desa, aku beserta keluarga ku tinggal disana. Kami mempunyai kehidupan yang bisa dibilang sangat sederhana. Desa tersebut begitu aman dari polusi, tidak seperti di kota-kota industri terutama di Jakarta. Desa yang sangat sejuk, nyaman dan damai serta masyarakat yang begitu memperdulikan satu sama lain. Berbeda dengan kota Jakarta, dimana orang-orang didalamnya hanya memikirkan mereka sendiri. Mereka tidak perduli apa yang terjadi di sekitar mereka.
Ibu, bapak serta saudara-saudara ku sangat menikmati kehidupan mereka selama ini, begitupun aku. Setiap hari, ayah ku sibuk bekerja disawah bersama kakak-kakakku yang hanya tamatan SMA. Mereka bekerja keras hanya untuk membiayai kehidupan kami serta modal untuk kuliah ku nanti. Mereka ingin sekali aku bisa mengapai cita-cita yang tinggi. Mereka tidak ingin kalau nasibku seperti nasib kakak-kakakku karena mereka yakin aku bisa sekolah tinggi dan menjadi orang sukses dengan kemampuan yang ku miliki.
“Nak, kamu harus sekolah tinggi ya!” kata ayahku.
“Iya yah...” jawabku.
Aku tidak tega dan tidak bisa membuat mereka tidak bahagia. Aku akan melakukan cara apapun supaya mereka bahagia dan salah satunya dengan cara aku harus sekolah tinggi dan tidak boleh main-main dengan pendidikan ku. Aku bertekad untuk sekolah di SMA favorit kemudian melanjutkan pendidikan di Universitas Negri di Malang kemudian menjadi guru yang profesional.
Orang tua serta kakak-kakakku begitu yakin padaku kalau aku bisa meraih semua cita-citaku. Walaupun kehidupan kami tidak berkecukupan tetapi mereka berusaha sekuat tenaga mengumpulkan uang demi pendidikan ku. Aku tidak akan pernah mengecewakan mereka. Kepercayaan itu menjadi beban tersendiri bagiku. Aku tidak yakin kalau aku bisa menjalankan semua itu tetapi berkat dari dukungan dan kepercayaan dari mereka, aku menjadi yakin kalau aku bisa menjalani semua itu.
Sekarang aku sudah berumur empat belas tahun. Aku lagi sibuk-sibuknya mengurusi pendaftaran disalah satu sekolah favorit di desaku. Aku sangat optimis kalau aku akan diterima di sekolah tersebut.
“Bu, aku mau daftar di SMA favorit yang ada di desa kita ini. Do’a kan aku, semoga aku bisa diterima ya bu!” kata ku sembari mencium tanggannya.
“Ia nak. Do’a ibu akan selalu menyertai langkah mu. Kamu merupakan kebanggaan sekaligus harapan bagi kami, anakku...” suara ibu ku agak terbatah-batah karena dia menahan kesedihannya.
  Seketika butiran halus meluncur begitu saja dipipiku. Aku tidak kuat lagi menahan semua keharuan ku melihat kepercayaan dan harapan yang begitu besar yang ditumpahkan di pundakku. Aku tidak akan tega mengecewakan dan menghancurkan kepercayaan mereka. Sambil terbatah-batah aku berkata “Bu, aku bakalan memenuhi semua harapan kalian dan aku bakalan membahagiakan kalian semua.”
****
  Suatu ketika, aku sedang asyik memikirkan hasil ujian seleksi masuk SMA Negeri di desaku. Aku yakin sekali kalau aku akan diterima di SMA Negeri tersebut. Sebelum ujian seleksi, aku belajar jauh-jauh hari agar nanti waktu ujian aku bisa menjawab soal ujian dengan baik dan benar. Tiba saat penggumuman hasil ujian,ternyata aku tidak diterima di SMA Negeri favorit tersebut. Aku sangat shock sekali karena aku tidak diterima di SMA Negeri tersebut padahal aku yakin sekali kalau aku akan diterima. Aku tidak berdaya lagi, aku sudah tidak kuat menghadapi cobaan tersebut tapi orangtua serta kakak-kakakku sangat mensuport aku agar aku tetap tegar dan bisa menerima kenyataan tersebut.
“Sabar ya nak! mungkin ini belum nasib kamu. Negri dan swasta itu sama saja yang penting ilmu yang kamu dapatkan.” Sambil memelukku.
“Ia sih, tapi Erik sudah bertekad untuk masuk kesekolah tersebut.”
“Walaupun kamu sudah berusaha, tetapi kalau tuhan tidak mengijinkannya, bagaimana? Daftar saja di sekolah lain ya!”
“Ya sudah, besok Erik akan daftar disekolah lain.”
“Kalau begitu kamu tidur dulu supaya besok bisa bangun pagi.”
“Ia bu... tekad ku yang satu ini boleh gagal tetapi tekad yang lainnya harus aku usahakan sebisa mungkin agar aku bisa mewujudkannya.” Gumamku.
****
Nyanyian burung serta embun menyambut pagi dengan riangnya. Di kamar mandi, aku sedang mandi mempersiakan diri untuk mendaftar disekolah swasta di dekat desa ku. Ada sebutir kekesalan yang masih tersimpan rapat-rapat dihatiku mengenai penolakanku di SMA Negri dekat desaku.
“Nak, kamu sudah siap-siap untuk berangkat?” tanya Ibuku.
“Ia bu, sebentar lagi.”
“Ya sudah kalau begitu. Jangan lupa makan ya! Ini Ibu sudah siapkan makanan buat kamu.”
”Makasih bu...”
Seketika suara ibu ku lenyap ditelan waktu dan hanya kesunyianlah yang ada. Ayah serta kakak-kakakku sedang berkerja membantu ayah disawah. Ternyata ibu ku sudah berangkat ke pasar untuk menjual sayur-sayuran hasil kerja keras ayah ku. Setelah selesai makan, aku langsung berangkat ke sekolah yang ingin aku datangi tersebut.
****
            Di sekolah swasta tersebut, aku diterima dan aku melewati masa-masa SMA yang berbeda dengan anak-anak yang lain yang hanya menyibukan mata-mata mereka menari-nari serta meloncat bila bertemu dengan tubuh atau wajah yang cantik. Aku menyibukan diri ku dengan hanya membaca buku. Aku tidak ingin membuang waktu hanya untuk sekedar mengagumi cewek saja. Kesibukan itu membuat aku tidak menyadari kalau aku sudah kelas tiga SMA dan sebentar lagi kami akan ujian.
            Sebelum Ujian Akhir Nasional, sekolah mengadakan trayout dan waktu trayout tersebut, nilai ku selalu lebih bagus dari teman-temanku. Ternyata nilai ku waktu trayout dengan waktu Ujian Akhir Nasional serta UAS tidak jauh berbeda dan aku pun diterima di salah satu Universitas Negeri Malang. Aku mengikuti pendaftaran yang ada disekolah dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku dan akhirnya pun aku diterima disitu. Hal yang paling membanggakan dalam hidupku ketika aku maju kedepan untuk mendapatkan ucapan selamat mulai dari kepala sekolah sampai teman-temanku. Perasaan bangga menyelimuti hati ku dikala itu.
             Setibanya dirumah, aku disambut haru oleh keluargaku karena aku mendapatkan nilai paling tinggi UAN maupun UAS serta diterima di Universtas Negeri Malang.
“Kami sangat bangga kepada mu, Erik. Kamu sudah memenuhi semua keinginan kami dan itu sudah kamu wujudkan.”
“Ini semua berkat dukungan dari kalian semua. Erik bangga sekali punya keluarga seperti kalian. Walaupun kita susah tetapi Erik bahagia dengan kehidupan seperti ini. Kehidupan seperti ini membuat kalian semakin menyayangiku.”
Suara tanggis menyelimuti kebersamaan kami waktu itu. Kami sangat bersyukur bisa memiliki keluarga seperti ini. Keluarga yang selalu di banjiri dengan kasih sayang dan saling perhatian. Berbeda dengan kehidupan orang kaya yang hanya memanjakan anak-anak mereka dengan uang dan anak-anak orang kaya selalu merasakan miskin kasih sayang. Mereka kurang berkumpul bahkan jarang sekali berkumpul dengan keluarga mereka.
****
Saat-saat keberangkatanku tinggal beberapa hari lagi. Kami, terutama Ibu ku sangat antusias sekali mempersiapkan keberangkatanku ke Malang. Rasa khawatir sempat menghantui mereka karena mereka takut aku tidak bisa menjaga diri dan menjadi anak yang tak karuan di Malang. Tetapi rasa itu sesegera mungkin mereka hilangkan karena mereka harus yakin dan percaya sama aku. Tiba saat keberangkatanku, mereka mengantar ku sampai diterminal dengan rasa yang campur aduk. Rasa senang, sedih dan juga terharu karena akhirnya aku bisa juga sekolah tinggi walaupun kehidupan kami tidak berkecukupan. 
             “Erik, kamu harus jaga diri! Jangan tinggalkan sholat, belajar yang rajin dan kamu harus meraih cita-cita mu dengan sungguh-sungguh.” Pesan ayahku.
            “Nak, kamu jangan mikirin pacaran dulu! Nanti kalau kamu sudah jadi sarjana, akan banyak gadis yang menyukai mu.” Pesan Ibuku.
            “Erik, kamu boleh bergaul dengan siapa saja tetapi kamu harus dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk” pesan salah satu kakakku.
            Begitulah keluargaku, sangat cerewet dengan nasehat-nasehatnya yang menbangun aku bisa menjadi seperti ini.
****
            Aku tenggah melalui masa-masa kuliah yang sangat melelahkan, penuh dengan tugas dari masing-masing dosen matakuliah. Aku mengambil jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia karena aku ingin menjadi guru sekaligus guru yang memiliki nilai-nilai kesenian yang dapat aku tularkan ke anak didikku nanti. Seperti baca puisi, drama dan lain-lain yang berhubungan dengan seni.
            Mulai semester pertama sampai tiga, IPK ku selalu tiga koma delapan. Setelah aku mengenal yang namanya cinta, aku selalu melupakan kewajibanku untuk mengerjakan tugas-tugas yang diberikan oleh dosen. Serta konsentrasiku selalu terbuyarkan oleh bayang-bayang mengenai pacar ku itu. Maklum, pacaran pertama kali.
            “Kenapa IPK mu tahun ini menurun?” tanya dosen wali ku.
            “Saya lagi menikmati indahnya jatuh cinta pak, jadi konsentrasi saya agak buyar.”  Sembari senyum.
            “Jatuh cinta sih boleh saja tapi jangan sampai mengganggu kuliah mu!” nesehatnya.
            “Begitu ya pak?” agak heran.
            Percakapan pun mulai seru. Aku dengan dosen waliku dapat mengobrol mengenai apa saja. Dosen wali ku memang sangat baik dan sangat memperhatikan anak walinya. Aku menemukan titik penyelesaian dari masalahku. Aku tidak boleh pacaran dulu karena dapat menganggu konsentrasiku. Ternyata benar apa yang ibu ku katakan dan aku merasa berdosa karena tidak mendengarkan nasehatnya.
            Semester empat aku mendapat IPK tiga koma delapan lagi malah semester lima dan enam, aku mendapat IPK empat koma nolnol. Aku pun berhasil lulus dengan IPK terbaik. Aku menempuh kuliah hanya tiga tahun setenggah saja. Setelah selesai wisuda, aku langsung melamar kerja di SMA yang pernah menolakku dulu dan akupun diterima dan aku mulai bekerja keesokan harinya.
****



.

2 komentar:

  1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  2. pintar bgt bikin cerpen :)
    suatu saat pasti bisa jadi novelis hebat nih

    BalasHapus